Daán yahya/Republika

Sejarah Haji dari Zaman Nabi

Usai menegakkan Ka’bah, Nabi Ibrahim AS diperintahkan untuk menyeru manusia yang beriman agar berhaji.

Oleh: Hasanul Rizqa

Sungguh, Baitullah bagaikan magnet, sedangkan hati orang-orang Mukmin adalah besi yang tertarik padanya. Sejak berabad-abad silam, miliaran insan telah berziarah ke sana. Mereka menempuh perjalanan yang melelahkan untuk tiba di Masjidil Haram dari negeri-negeri yang jauh, baik melalui daratan, lautan, maupun udara. Tidak ada yang menggerakkannya kecuali kalbu yang terisi iman dan pengharapan akan ridha Allah SWT.

 

Jauh sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim AS untuk menegakkan Ka’bah. “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah bersama Ismail, (seraya berdoa), ‘Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui’” (QS al-Baqarah:127).

 

Ayat Alquran itu pun mengisyaratkan, eksistensi Baitullah sesungguhnya sudah ada jauh sebelum hadirnya nabi berjulukan “Kekasih Allah” (Khalilullah) tersebut. Tandanya ada pada sebutan “yarfa’u” (meninggikan). Nabi Ibrahim hanya diperintahkan oleh-Nya untuk meninggikan fondasi Baitullah, bukan membuat baru sama sekali.

 

Pada ayat lain, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam” (QS Ali Imran:96). Dalam Fii Zhilalil Qur’an, Sayyid Quthb menafsirkan ayat tersebut sebagai penegasan bahwa Ka’bah merupakan tempat pertama di muka bumi yang dikhususkan untuk beribadah kepada-Nya.

 

Begitu selesai membangun Ka’bah, Nabi Ibrahim diperintahkan Allah SWT untuk menyeru kepada manusia agar mereka datang ke tempat ini demi menunaikan ibadah haji. Sang khalilullah sempat bertanya, “Ya Allah, bagaimana aku dapat memanggil seluruh manusia di muka bumi ini?”

 

Allah berfirman, “Engkau hanya Ku-perintahkan untuk menyeru (adzdzin), Aku-lah yang mendatangkan.” Momen ini diabadikan dalam Alquran surah al-Hajj ayat 27, artinya, “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.”

 

Nabi Ibrahim lalu mendaki bukit yang terdekat dengan Ka’bah, Abu Qubais. Setelah dibimbing Malaikat Jibril, beliau pun menyeru (adzan), “Yaa ayyuha an-naas, inna Allah kataba ‘alaikum hajja al-Bait al-‘Atiiq!”, ‘Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian telah mewajibkan untuk berhaji ke Baitul ‘Atiq (Ka’bah)!’

 

Gema suara itu menyusuri bukit-bukit, gunung-gunung, hingga seantero daratan. Seluruh penduduk langit maupun bumi yang beriman kepada-Nya menyambutnya dengan mengucapkan talbiyah, “Labbaik Allahumma labbaik”, ‘aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah.’

Dok Republika

Siapa pertama berhaji?

 

Janji Allah kepada Nabi Ibrahim terbukti, bahkan hingga kini dan seterusnya. Masjid al-Haram laksana magnet bagi orang-orang beriman. Setiap tahun, jutaan jamaah haji berduyun-duyun datang dari berbagai penjuru dunia. Mereka rela menghadapi segala macam ujian dan rintangan untuk memenuhi undangan sebagai tamu Allah.

 

Rasulullah SAW bersabda, “Orang-orang yang sedang menunaikan haji dan orang-orang yang sedang mengerjakan umrah merupakan para tamu Allah. Maka dari itu, jika mereka memohon kepada-Nya, pastilah dikabulkan; dan jika mereka meminta ampunan, pastilah diampuni-Nya” (HR Ibnu Majah).

 

Surah al-Baqarah ayat 128 merangkum beberapa permintaan Nabi Ibrahim AS sesudah beliau membangun Ka’bah bersama dengan putranya, Nabi Ismail AS. Di antaranya adalah, memohon agar Allah berkenan menunjukkan tata cara manasik haji—“wa arinaa manaasikanaa wa tub’alainaa.” Menurut Didik Dahlan Lukman dalam artikel “Sejarah Ibadah Haji”, doa tersebut mengandung dua kemungkinan.

 

Pertama, sebelum beliau memang tidak ada syariat haji. Oleh karena itu, Nabi Ibrahim memerlukan petunjuk teknis untuk menjalankannya. Hal itu juga menjadikannya orang pertama yang berhaji. Kedua, haji sudah pernah disyariatkan kepada umat sebelum beliau, tetapi kemudian membutuhkan pembaruan. Barangkali, lanjut Didik, syariat haji pada masa dahulunya sudah tak lagi sesuai atau dianggap telah mengalami penyimpangan sehingga perlu diluruskan.

 

Menurut sejumlah riwayat, Nabi Adam AS merupakan orang pertama mengelilingi Baitullah atau bertawaf. Bapak umat manusia itu meniru para malaikat yang telah melakukannya selama dua ribu tahun. Bahkan, disebutkan bahwa malaikat-lah yang mula-mula membangun Ka’bah. Itulah alasannya, Ka’bah disebut pula sebagai Baitul ‘Atiq, yang secara kebahasaan berarti ‘rumah antik.’

 

Ibnu Katsir dalam Bidayah wa an-Nihayah meyakini, para nabi dan rasul setelah Adam AS juga melaksanakan ibadah ke Ka’bah. Itu berdasarkan sebuah hadis riwayat Imam Ahmad bin Hanbal. Ibnu Abbas RA berkata, “'Ketika Nabi SAW sedang lewat di Lembah Usfan pada waktu berhaji, beliau berkata, ‘Wahai Abu Bakar, lembah apakah ini?’

 

Abu Bakar menjawab, ‘Lembah Usfan.’ Nabi SAW bersabda, “Nabi Hud dan Saleh AS pernah melewati tempat ini dengan mengendarai unta-unta muda yang tali kekangnya dari anyaman serabut. Sarung mereka adalah jubah dan baju mereka adalah pakaian bergaris. Mereka mengucapkan talbiah, melaksanakan ibadah haji ke Baitullah.’”

Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian telah mewajibkan untuk berhaji ke Baitul ‘Atiq.

Hajinya Rasulullah

 

Seumur hidupnya, Nabi Muhammad SAW melakukan haji satu kali. Hal itu berdasarkan riwayat dari Jabir bin Abdullah, yang berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah tinggal di Madinah selama sembilan tahun, tetapi beliau belum berhaji. Kemudian, pada tahun ke-10, beliau mengumumkan bahwa beliau akan berhaji sehingga banyak orang datang ke Madinah, semuanya ingin ikut bersama Rasulullah SAW dan melakukan amal ibadah (haji) seperti beliau.”

 

Dalam sejarah Islam, momen itu dikenal pula sebagai Haji Perpisahan (Wada’). Nabi SAW melakukan rukun Islam kelima itu menjelang akhir hayatnya. Seakan-akan mengisyaratkan, kian dekatnya akhir tugas beliau dalam membimbing umat. Tak lama lagi, beliau akan kembali kepada-Nya.

 

Muhammad Husain Haekal dalam Hayat Muhammad menuturkan, Nabi SAW berangkat haji pada 25 Dzulqaidah tahun ke-10 Hijriah. Beliau membawa semua istrinya, masing-masing dalam haudahnya.

 

Kaum Muslimin yang mengikuti beliau begitu banyak. Sebagian penulis sejarah menyebutkan, jumlahnya tak kurang dari 90 ribu orang. Ada pula yang mengatakan, jumlahnya bahkan mencapai 114 ribu orang.

 

Sebelumnya, mereka telah datang dari berbagai penjuru Jazirah Arab ke Madinah sejak mengetahui benar Nabi SAW telah menetapkan akan pergi haji pada bulan itu. Mereka datang sebagai saudara seiman. Satu sama lain terpautkan rasa kasih sayang dan keikhlasan hati.

 

Nabi SAW dan Muslimin mikat di Zul-Hulaifah (Bir Ali). Di sana, mereka tinggal selama satu malam. Keesokan harinya, Nabi SAW mengenakan pakaian ihram. Orang-orang pun mengikutinya. Selanjutnya, beliau mengucapkan talbiah, diikuti umat di belakangnya. Begitu banyak manusia menyusuri jalanan antara Madinah dan Masjid al-Haram itu. Wajah mereka memancarkan cahaya iman dan kebahagiaan.

 

Pada hari keempat bulan Dzulhijjah, mereka tiba di Makkah. Nabi SAW segera menuju Ka’bah, diiringi Muslimin seluruhnya. Beliau kemudian mengusap Hajar al-Aswad, lalu menciumnya. Usai itu, beliau bertawaf di Ka’bah sebanyak tujuh kali putaran. Pada putaran yang pertama, Rasulullah SAW berlari-lari kecil, dan setelah itu berjalan biasa.

 

Setelah melaksanakan shalat di Maqam Ibrahim, Nabi SAW kembali, dan sekali lagi mencium Hajar al-Aswad. Kemudian, beliau menuju Bukit Safa, melakukan sai antara Safa dan Marwah. Selanjutnya, Rasulullah SAW menyeru kaum Muslimin supaya barangsiapa yang tak membawa ternak kurban untuk disembelih, maka jangan terus mengenakan pakaian ihram.

 

Memasuki hari kedelapan Dzulhijjah atau Hari Tarwiyah, Nabi Muhammad SAW pergi ke Mina. Selama sehari semalam itu, beliau tinggal dalam kemahnya. Usai shalat subuh, kala matahari mulai muncul, beliau menunggangi untanya—al-Qaswa’—untuk menuju Bukit Arafah. Puluhan ribu manusia mengikuti dari belakang. Takbir dan talbiah bergema.

 

Tenda untuk Rasulullah SAW sudah siap di Namirah, sebuah desa sebelah timur Arafah. Kala mentari sudah tergelincir, beliau SAW dengan menaiki al-Qaswa’ berangkat lagi hingga tiba di area Uranah. Di tempat itulah, beliau memanggil sekalian jamaah. Maka berhimpunlah Muslimin.

 

Setelah mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah, Rasulullah SAW memulai pidatonya—belakangan, itu diketahui sebagai “pesan terakhir” beliau kepada umatnya. Setelah khutbah panjang itu, wahyu yakni surah al-Maidah ayat 3 turun. Artinya, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.”

AP Photo/Amr Nabil

Jalur dan refleksi perjalanan haji

 

Sebelum zaman modern, para peziarah memanfaatkan jalur darat dan laut untuk mencapai Makkah. Pada abad pertengahan, misalnya, jamaah haji yang menempuh rute darat dapat berhimpun pada beberapa kota besar yang ada di negeri-negeri sekitar Jazirah Arab. Unta menjadi alat transportasi utama bagi mereka. Begitu pula keledai atau kadang kala kuda.

 

KN Chaudhuri dalam tulisannya di The Cambridge Illustrated History of the Islamic World menjelaskan, pada masa itu tempat transit utama karavan jamaah haji dari Afrika Utara ialah Kairo. Sementara itu, mereka yang datang dari kawasan Balkan, Anatolia (Turki), dan Syam akan berhimpun di Damaskus. Adapun rombongan dari arah Transoksania (Asia Tengah), Afghanistan, dan Persia berkumpul terlebih dahulu di Baghdad.

 

Sebagai ibu kota kekhalifahan, Baghdad memiliki infrastruktur yang relatif lebih bagus. Khalifah ketiga Abbasiyah, al-Mahdi mulai membangun jalan penghubung antara Irak dan Hijaz. Proyek itu diteruskan anak-anaknya dan akhirnya tuntas pada masa Harun al-Rasyid. Jalan sepanjang 1.400 kilometer (km) itu membelah Gurun Nafud hingga Madinah dan Makkah. Sang sultan menamakannya Jalan Zubaidah, demi mengenang istrinya, Zubaidah binti Ja’far. Tiap 20 km atau sejarak satu hari perjalanan, terdapat pos pemberhentian. Karavan haji dapat memperoleh air minum, makanan, atau sekadar tempat bernaung di sana.

 

Sesudah Baghdad jatuh ke tangan Mongol pada 1258, Kairo dan Damaskus menjadi tempat persinggahan utama bagi jamaah haji yang melalui jalur darat. Yang pertama tetap menjadi basis transit mereka yang berarak dari Afrika Utara dan Afrika Barat. Adapun kota yang kedua mulai ketambahan karavan-karavan yang sebelumnya singgah di Baghdad.

 

Untuk sampai di Baitullah, gelombang jamaah dari Damaskus akan melalui beberapa kota di sepanjang perjalanan, seperti al-Karak, Ma’an, Tabuk, Hijr atau Mada’in Shalih, al-Ula, dan akhirnya Madinah dan Makkah. Sejak zaman Umayyah, tiap menjelang musim haji di Kota Ma’an (kini bagian dari Yordania) bermunculan pasar-pasar dadakan. Masyarakat setempat memanfaatkan kedatangan rombongan haji untuk menggerakkan ekonomi.

 

Arus jamaah dari Kairo biasanya singgah di sana selama empat hari. Kemudian, mereka bertolak ke arah Ajrud, lalu Suez. Sesudah itu, mereka akan melintasi Gurun Sinai hingga tiba di Aqaba. Sejak dari sana, mereka akan menyusuri pesisir Laut Merah, untuk sampai di Madinah dan akhirnya Makkah.

 

Muslimin dari pesisir Anak Benua India dan Asia Tenggara umumnya menggunakan jalur laut. Begitu pula dengan jamaah dari Afrika Timur. Mereka mengikuti rute yang biasa dilalui kapal-kapal niaga di Samudra Hindia hingga Laut Arab.

 

Eric Tagliacozzo dalam The Longest Journey mengatakan, sejarah Asia Tenggara sebelum 1511, yakni tahun jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, cukup sukar diteliti lantaran amat sedikitnya sumber-sumber tertulis. Oleh karena itu, cukup sukar memastikan bagaimana awal mulanya rute haji via Samudra Hindia yang dilalui Muslimin asal Kepulauan Indonesia.

DOk Republika

Sejauh ini, biografi karya seorang Hadramaut pada akhir abad ke-15 menjadi sumber tertua yang berhasil diteliti terkait orang Indonesia pertama yang naik haji. Sumber itu menyebutkan, ada seorang Muslim Jawi (Nusantara) di Hijaz antara tahun 1277 dan 1367 M. Meskipun teks tersebut tidak menegaskan apakah orang itu menunaikan haji atau tidak, menurut Tagliacozzo, amatlah muskil dipercaya bila ia tak melakukannya selama di Tanah Suci.

 

Barulah 100 tahun kemudian, berbagai catatan orang Nusantara naik haji mengemuka. Misalnya, Syekh Hamzah Fansuri yang berhaji pada awal abad ke-16. Ulama tarekat sekaligus penyair itu mengikuti pelayaran dari Aceh (atau Siam) ke Arab. Pencipta “Syair Perahu” itu bahkan sampai menyambangi Masjid al-Aqsha.

 

Menurut Prof Abdul Hadi WM, banyak tokoh Muslim Nusantara yang telah mencatat indahnya perjalanan naik haji yang mereka lakukan. Misalnya seperti dilukiskan dalam Sejarah Melayu pada abad ke-15 dan 16 Masehi. Dalam kitab tersebut, dipaparkan dua orang pemuka agama dari tanah Jawa yang singgah di pelabuhan Malaka dalam perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.

 

Dua tokoh yang dimaksud adalah Sunan Giri dan Sunan Bonang. Dari Malaka, para Wali Sanga itu melanjutkan pelayaran ke Samudra Pasai. Di negeri Aceh tersebut, mereka tinggal cukup lama. Masa singgah itu pun dimanfaatkannya untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman pada guru-guru terkemuka setempat.

 

Dari Samudra Pasai mereka berlayar ke India atau Maladewa. Dua route pelayaran tinggal dipilih: menuju pelabuhan Hormuz di Teluk Persia atau pelabuhan Aden di Yaman, yang merupakan tempat konsentrasi penganut mazab Syafii. Tidak heran apabila duta Timur Lenk untuk India pada awal abad ke-15 M mencatat dalam kitab sejarahnya bahwa pada awal abad ke-15 M banyak sekali kapal-kapal dari pulau Jawa dan Sumatra berlabih di Hormus, Iran sekarang ini.

 

Dari Aden dan Hormuz ini orang-orang yang naik haji berangkat ke Mekkah melalui jalan darat. Adapun yang berlabuh di pelabuhan Hormuz meneruskan perjalanan darat menuju Baghdad.

 

Dalam Hikayat Hang Tuah dipaparkan orang-orang Melayu banyak yang naik haji dengan terlebih dahulu berkumpul di kota Baghdad. Yaitu di Mesjid Syekh Abdul Qadir Jailani yang merupakan markas Tariqat Qadiriyah. Di kota ini, sebelum menuju Mekkah, Syekh Hamzah Fansuri dibaiat sebagai mursyid tariqat Qadiriyah di Nusantara. Setelah menunaikan ibadah haji ia melanjutkan perjalanan ke Yerusalem atau al-Quds. Seperti ditulis dalam syair tasawufnya:

 

“Hamzah Fansuri di dalam Mekkah

 

Mencari Tuhan di Baitil Ka’bah

 

Di Barus ke Quds terlalu payah

 

Akhirnya jumpa dalam rumah”

 

Ada dua perjalanan haji yang dilukiskan Hamzah Fansuri. Yaitu perjalanan secara lahiriyah/badaniah dan perjalanan secara ruhaniah/spiritual. Keterangannya mungkin dapat dicari pada risalah tasawuf yang dia pelajari kala itu.

top